Minggu, 21 Mei 2017



KOPI PENGANTAR MUADZIN MASJIDIL HARAM

                Tersentak kaget ku terbangun, terdengar suara jam alarm milik temanku telah menari-nari dengan bunyi yang nyaring. Ku intip dinding kamarku ku lihat dengan teliti pada suatu arah pigoradengan image anak kecil berpeci yang bergoyang ke kanan-kiri kepalanya. Arah mataku lebih fokus pada satu objek jam dinding yang berada di samping image tersebut  dalam satu pigora kaca itu.
wah jam 1 pagi ternyata  jarum jam menunjuknya, mengucek mata dan sedikit menguap sambil berjalan ke arah gayung merah, mencari peralatan mandi dan membawanya ke kamar mandi. Bergegas kemudian aktifitas istiqomahku kencan dengan illahi robby setiap sepertiga malam aku lakukan. Setelah itu usai, butiran-butiran kayu yang di tata rapi pada seuntai benang ku mainkan pada jari-jari ku serta memuji nama-NYA serta meminta ampun pada-NYA.
Pukul 03.30 pagi ku lantunkan burdah pada microfon masjid untuk membangunkan kawan-kawan santri yang lain. Sampai ku dengar suara adzan subuh dari seorang pejuang subuh yang telah renta, namun semangatnya membangunkan penduduk kampung masih berkobar layaknya anak muda. Yah, suara itu adalah suara yang di kumandangakan oleh manusia paruh baya  yang istiqomah tanpa pernah aku dengar  suara lain yang menghidupkan mushollah kecil di kampung sekitar pesantren ku. Kuusaikan burdah dan ku mulai lantunkan adzan subuh dengan suara yang tak begitu merdu menurutku.
                                                                                                ##
                Pagi yang sudah tak berembun, siulan pipit yang tak seragam berbaris di pohon mangga stelah beberapa aktifitas ku lakoni  bergegas aku ke ndalem romo yai dan mulai dengan sapu lidi biru dan di temani sepotong kain serbet di pundakku.
“yik.. rene le..”
“Dalem yai”
“Iki, gowo nang dapur yo”
“injih yai”
Secangkir kopi sisa malam kemaren yang aku bawa ke dapur, sering lancang dan hampir setiap hari  aku meminum sisa kopi itu sebelum tercebur dalam tumpukan piring-piring dan gelas kotor di dapur yang nantinya juga akan menjadi tugasku membersihkannya. 
Tugas bersih-bersih selesai aku lakukan. Kembali diri ini menapakkan kaki ke ruang kecil dengan sisi 3x3 metre yang aku tempati bertiga bersama temanku. Ku buka elektronik kecil yang sering orang menyebutnya itu dengan kata laptop, nmun menurutku itu terlalu kecil untuk di samakan. Jariku memulai dari tombol power yang ada di kanan atas, dan bergemulai menari di atas keyboard mengikuti perintah dari saraf otak kecilku.  Yah aku mulai sedikit demi sedikit menyicil skripsi yang tinggal bab akhir saja. Aku adalah mahasiswa prodi sastra arab yang melakoni kehidupan kuliah di kampus yang di dirikan oleh pesantren.
2 minggu yang lalu romo yai sempat bilang padaku, ketika sidang skripsim usai aku harus memberi tahu romo yai, entah yang ku bingungkan memangnya untuk apa aku memberi tahu hal itu, tapi kerena itu romo yai yang minta, apa dayaku tak bisa menuruti hal kecil itu. Tapi yang sering berkeliaran di otakku “apakah aku akan di jodohkan, hah terlalu berharap, kerja saja belum” gumam hati kecilku.
                                `                                                               ##
3 bulan berlalu, sidang skripsi telah usai, dan tampaknya romo yai telah lebih dulu mengetahui hal itu.
“yik,,, iki gowo nang dapur yo le,”
“injih yai “
“nek mari kowe rene le”
“Injih” sahutku lagi
Setelah ku cuci cangkir itu, kembali ku mengahadap kepada yai.
“yik,,, mene mulio, njaluk pangestune ibu mu yo le”
“agunge pengapunten yai, kedah wonten nopo?”
“matur o nek kowe mene arep melu aku nang mekka, ngancani aku umroh”
Terhantam keras pori-pori relung hatiku, mendengar perintah yang tak terduga, namun tetap tak berani aku menadahkan wajah di hadapan yai, spontan tangan ku mnyahut mencium tangan yai dan mengiyakan perintah itu. Dengan jawaban yang menggetarkan kedua bibir ku yang memucat kaget beradu dengan rasa haru dan rasa hormat.
“yo wes, kono balik o nang kamarmu”
“injih yai”
                                                                                                ##

لبيك اللهم لبيك ، لبيك لا شريك لك لبيك

إن الحمد والنعمة لك والملك ، لا شريك لك

  
Kalimat talbiyah yang tak hentinya ku panjatkan dengan mengelilingi ka’bah bersama romo yai, sungguh rasa syukur ku yang tak pernah terputus dan rasa ta’dimku yang harus selalu ku ingat, atas kebaikan romo yai yang menjadikanku hanya khodam, namun hingga di perintah untuk menemani beliau. Menapak kaki pada baitulloh yang hanyasering aku dengar cerita indahnya dari sebagian orang tua teman-temanku ketika usai mengunjungi tanah haram ini. Butiran tetes air mata yang sulit terbendung mnyertai doa-doaku  mengingat sedikit tak percaya akan seluruh kejadian ini, namun harus yakin karena apa yang alloh SWT kehendaki, akan mudah terjadi secepat kedipan mata.
Usai thowaf, kami kembali ke penginapan yang di khususkan untuk jama’ah umroh indonesia. Di tengah perjalanan sempat romo yai bertanya.
“piye le.. seneng?”
“alhamdulillah, injih yai”
“iki ridhone alloh, ojo di remehno olehmu sholat wengi lan wiridan, istiqomahno sampek mati yo le, nyelengi nang masjid ora di gawe tuku rokok wae, he..he..he”
Dawuh romo yai terasa sejuk mengitari pundi-pundi hati ku.
“injih, yai” anggukan bahagiaku merespon amanah besar itu.
                                                                                                ##
Sebelum subuh aku sudah dulu di ajak pergi ke masjidil haram. Sempat ku lihat romo yai berbicara dengan seorang berjubah putih  menggunakan sorban merah yang di kerudungkan di kepala, berhidung mancung dan berjenggot putih tebal yang terlihat bahwa,  memang sengaja di pelihara oleh sebagian besar orang-orang arabian. Kembali ku lanjutkan mebaca gus mushaf yang ku temukan tertata di rak bagian tengah masjid al-haram ini. Sentuhan tangan yang asing menepuk bagian pundak kananku hingga aku mengalihkan perhatian ke belakang dengan rasa penasaran siapakah ini, namun tak sempat menoleh orang itu telah dulu duduk di sampingku dan mengantarkan segores senyum padaku.
“apakah anda muhammad arifin, asal indonesia?”
gaya bahasa indonesia yang tak faseh, yah karena di memang bukan orang indonesia.
“ya benar... saya berasal dari indonesia”
“maukah anda adzan subuh di masjid ini ?”
“mohon maaf, saya tidak punya keberanian, karena sepertinya semua petugas di sini bukan orang sembarangan, melainkan melalui persetujuan.”
Secuil senyum itu ku dapati pada wajah berkulit putih yang setengan mengeriput, dan helaian nafas yang terdengar dari hidung mancung orang arab itu.
“kamu benar nak, aku adalah imam masjidil haram ini, muadzinku sedang udzur dan badalnya sedang tidak ada, berkenankah engkau membantuku?”
“insyaalloh saya bersedia” jawabku tanpa berpikir panjang dan balasan senyum kembali aku dapati dari orang itu.
                                                                                                ##