KOPI
PENGANTAR MUADZIN MASJIDIL HARAM
Tersentak kaget ku terbangun,
terdengar suara jam alarm milik temanku telah menari-nari dengan bunyi yang
nyaring. Ku intip dinding kamarku ku lihat dengan teliti pada suatu arah
pigoradengan image anak kecil berpeci yang bergoyang ke kanan-kiri
kepalanya. Arah mataku lebih fokus pada satu objek jam dinding yang berada di
samping image tersebut dalam satu
pigora kaca itu.
wah jam 1 pagi ternyata jarum jam menunjuknya, mengucek mata dan sedikit menguap sambil berjalan ke arah gayung merah, mencari peralatan mandi dan membawanya ke kamar mandi. Bergegas kemudian aktifitas istiqomahku kencan dengan illahi robby setiap sepertiga malam aku lakukan. Setelah itu usai, butiran-butiran kayu yang di tata rapi pada seuntai benang ku mainkan pada jari-jari ku serta memuji nama-NYA serta meminta ampun pada-NYA.
wah jam 1 pagi ternyata jarum jam menunjuknya, mengucek mata dan sedikit menguap sambil berjalan ke arah gayung merah, mencari peralatan mandi dan membawanya ke kamar mandi. Bergegas kemudian aktifitas istiqomahku kencan dengan illahi robby setiap sepertiga malam aku lakukan. Setelah itu usai, butiran-butiran kayu yang di tata rapi pada seuntai benang ku mainkan pada jari-jari ku serta memuji nama-NYA serta meminta ampun pada-NYA.
Pukul 03.30 pagi
ku lantunkan burdah pada microfon masjid untuk membangunkan kawan-kawan santri
yang lain. Sampai ku dengar suara adzan subuh dari seorang pejuang subuh yang
telah renta, namun semangatnya membangunkan penduduk kampung masih berkobar
layaknya anak muda. Yah, suara itu adalah suara yang di kumandangakan oleh
manusia paruh baya yang istiqomah tanpa
pernah aku dengar suara lain yang
menghidupkan mushollah kecil di kampung sekitar pesantren ku. Kuusaikan burdah
dan ku mulai lantunkan adzan subuh dengan suara yang tak begitu merdu
menurutku.
##
##
Pagi yang sudah tak berembun,
siulan pipit yang tak seragam berbaris di pohon mangga stelah beberapa
aktifitas ku lakoni bergegas aku ke
ndalem romo yai dan mulai dengan sapu lidi biru dan di temani sepotong kain
serbet di pundakku.
“yik.. rene le..”
“Dalem yai”
“Iki, gowo nang
dapur yo”
“injih yai”
Secangkir kopi
sisa malam kemaren yang aku bawa ke dapur, sering lancang dan hampir setiap
hari aku meminum sisa kopi itu sebelum
tercebur dalam tumpukan piring-piring dan gelas kotor di dapur yang nantinya
juga akan menjadi tugasku membersihkannya.
Tugas
bersih-bersih selesai aku lakukan. Kembali diri ini menapakkan kaki ke ruang
kecil dengan sisi 3x3 metre yang aku tempati bertiga bersama temanku. Ku buka
elektronik kecil yang sering orang menyebutnya itu dengan kata laptop, nmun
menurutku itu terlalu kecil untuk di samakan. Jariku memulai dari tombol power
yang ada di kanan atas, dan bergemulai menari di atas keyboard mengikuti
perintah dari saraf otak kecilku. Yah
aku mulai sedikit demi sedikit menyicil skripsi yang tinggal bab akhir saja.
Aku adalah mahasiswa prodi sastra arab yang melakoni kehidupan kuliah di kampus
yang di dirikan oleh pesantren.
2 minggu yang lalu romo yai sempat bilang padaku, ketika sidang skripsim usai aku harus memberi tahu romo yai, entah yang ku bingungkan memangnya untuk apa aku memberi tahu hal itu, tapi kerena itu romo yai yang minta, apa dayaku tak bisa menuruti hal kecil itu. Tapi yang sering berkeliaran di otakku “apakah aku akan di jodohkan, hah terlalu berharap, kerja saja belum” gumam hati kecilku.
` ##
2 minggu yang lalu romo yai sempat bilang padaku, ketika sidang skripsim usai aku harus memberi tahu romo yai, entah yang ku bingungkan memangnya untuk apa aku memberi tahu hal itu, tapi kerena itu romo yai yang minta, apa dayaku tak bisa menuruti hal kecil itu. Tapi yang sering berkeliaran di otakku “apakah aku akan di jodohkan, hah terlalu berharap, kerja saja belum” gumam hati kecilku.
` ##
3 bulan berlalu,
sidang skripsi telah usai, dan tampaknya romo yai telah lebih dulu mengetahui
hal itu.
“yik,,, iki gowo
nang dapur yo le,”
“injih yai “
“nek mari kowe
rene le”
“Injih” sahutku
lagi
Setelah ku cuci
cangkir itu, kembali ku mengahadap kepada yai.
“yik,,, mene
mulio, njaluk pangestune ibu mu yo le”
“agunge
pengapunten yai, kedah wonten nopo?”
“matur o nek kowe
mene arep melu aku nang mekka, ngancani aku umroh”
Terhantam keras
pori-pori relung hatiku, mendengar perintah yang tak terduga, namun tetap tak
berani aku menadahkan wajah di hadapan yai, spontan tangan ku mnyahut mencium
tangan yai dan mengiyakan perintah itu. Dengan jawaban yang menggetarkan kedua
bibir ku yang memucat kaget beradu dengan rasa haru dan rasa hormat.
“yo wes, kono
balik o nang kamarmu”
“injih yai”
##
لبيك اللهم لبيك ، لبيك لا شريك لك لبيك
إن الحمد والنعمة لك والملك ، لا شريك لك
Kalimat talbiyah
yang tak hentinya ku panjatkan dengan mengelilingi ka’bah bersama romo yai,
sungguh rasa syukur ku yang tak pernah terputus dan rasa ta’dimku yang harus
selalu ku ingat, atas kebaikan romo yai yang menjadikanku hanya khodam, namun
hingga di perintah untuk menemani beliau. Menapak kaki pada baitulloh yang
hanyasering aku dengar cerita indahnya dari sebagian orang tua teman-temanku
ketika usai mengunjungi tanah haram ini. Butiran tetes air mata yang sulit
terbendung mnyertai doa-doaku mengingat
sedikit tak percaya akan seluruh kejadian ini, namun harus yakin karena apa
yang alloh SWT kehendaki, akan mudah terjadi secepat kedipan mata.
Usai thowaf, kami
kembali ke penginapan yang di khususkan untuk jama’ah umroh indonesia. Di
tengah perjalanan sempat romo yai bertanya.
“piye le..
seneng?”
“alhamdulillah,
injih yai”
“iki ridhone
alloh, ojo di remehno olehmu sholat wengi lan wiridan, istiqomahno sampek mati
yo le, nyelengi nang masjid ora di gawe tuku rokok wae, he..he..he”
Dawuh romo yai
terasa sejuk mengitari pundi-pundi hati ku.
“injih, yai”
anggukan bahagiaku merespon amanah besar itu.
##
Sebelum subuh aku
sudah dulu di ajak pergi ke masjidil haram. Sempat ku lihat romo yai berbicara dengan seorang berjubah putih menggunakan sorban merah yang di kerudungkan
di kepala, berhidung mancung dan berjenggot putih tebal yang terlihat
bahwa, memang sengaja di pelihara oleh
sebagian besar orang-orang arabian. Kembali ku lanjutkan mebaca gus mushaf yang
ku temukan tertata di rak bagian tengah masjid al-haram ini. Sentuhan tangan
yang asing menepuk bagian pundak kananku hingga aku mengalihkan perhatian ke
belakang dengan rasa penasaran siapakah ini, namun tak sempat menoleh orang itu
telah dulu duduk di sampingku dan mengantarkan segores senyum padaku.
“apakah anda muhammad arifin, asal indonesia?”
“apakah anda muhammad arifin, asal indonesia?”
gaya bahasa indonesia yang tak faseh, yah karena di memang bukan orang
indonesia.
“ya benar... saya berasal dari indonesia”
“maukah anda adzan subuh di masjid ini ?”
“mohon maaf, saya tidak punya keberanian, karena sepertinya semua petugas
di sini bukan orang sembarangan, melainkan melalui persetujuan.”
Secuil senyum itu ku dapati pada wajah berkulit putih yang setengan
mengeriput, dan helaian nafas yang terdengar dari hidung mancung orang arab
itu.
“kamu benar nak, aku adalah imam masjidil haram ini, muadzinku sedang udzur
dan badalnya sedang tidak ada, berkenankah engkau membantuku?”
“insyaalloh saya bersedia” jawabku tanpa berpikir panjang dan balasan
senyum kembali aku dapati dari orang itu.
##